Selasa, 02 April 2013

Hukum Mengadopsi Bendera di Dalam Islam.

Panji Hitam (ar Rayah)
Mujahidin dengan Panji Islam

Artikel Hukum Mengadopsi Bendera di Dalam Islam ini diambil dari sub bab pembahasan yang ada didalam makalah “Bendera Nabi Saw Dari Dahulu Sampai Sekarang” karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Sa’d al-Hujailiy (Dosen bersama pada kuliah Syari’ah; Jurusan Peradilan dan Politik Pemerintahan di Universitas Islamiyyah Madinah).

Berikut ini adalah sebagian hukum yang menjelaskan tentang raayaat (jamak dari ar-rayah), a’laam (jamak dari al-a’lam), dan alwiyah (jamak dari al-liwa) yang telah digali oleh para ulama dari hadits – hadits yang bercerita tentang raayaat dan alwiyah.
Ibnu Hajar menyatakan[1]:
1. Disunnahkan membawa bendera di dalam peperangan.
2. Ar-Raayaat (panji-panji) tidak  akan  diberikan kecuali  atas ijin seorang Imam, sebab  panji-panji adalah tanda yang menunjukkan posisi seorang Imam. Bendera tidak akan dialihkan kepada orang lain, kecuali atas perintahnya.
3. Bendera (liwa) harus selalu berada di dekat Amir, atau orang yang menggantikan posisinya di dalam peperangan.
4. Pendapat Ibnu Hajar ini diperkuat oleh Imam al-‘Iraqiy dalam kitabnya, Tharh al-Tatsriib[2]. Beliau menyatakan, “Disunahkan membawa bendera di dalam peperangan. Bendera ini harus  berada di tangan pemimpin pasukan, sebagaimana sabda Rasulullah saw saat perang Mu’tah:
Bendera itu diambil oleh Zaid. Tidak lama kemudian ia syahid, selanjutnya bendera dipegang oleh Ja’far. 
Rasulullah saw telah menetapkan, bahwa orang yang memegang bendera adalah Amir. Selanjutnya, bendera itu bisa diambil alih oleh Amir yang lainnya.”[3]
5. Tatkala menerangkan hadits yang  menuturkan tentang al-liwa (bendera  besar) yang  dibawa pada saat perang Khaibar, Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah saw telah menyerahkan bendera besar itu kepada Abu Bakar, sekaligus mengangkatnya sebagai  Amir. Beliau juga menyerahkan bendera kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Ali ra. Penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali ra tidaklah menghapus penyerahan bendera yang telah diberikan kepada keduanya (Abu Bakar  dan Umar). Sebab, masing – masing telah diberi kewenangan secara khusus untuk memegang bendera pada hari itu.  Kewenangan untuk membawa bendera itu akan berakhir dengan wafatnya beliau saw. Tidak ada satupun Amir yang sempurna perintahnya, kecuali beliau saw. Namun demikian, beliau saw telah menyerahkan segala urusan kepada siapa saja yang beliau kehendaki”.[4]
6. Membawa bendera merupakan salah satu tugas yang sangat mulia. Oleh karena itu, bendera tersebut harus dijaga sampai mati. Imam ‘Ainiy  dalam  kitab ‘Umdat al-Qaariy  berkata, “Rayah (panji) tidak akan diserahkan kecali atas ijin dari Imam. Sebab, penyerahan bendera merupakan kewenangan dan tugas dari Imam. Ia tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, kecuali atas perintah dari Imam. Bukti yang menunjukkan  bahwa membawa bendera termasuk sebuah tugas kenegaraan adalah sabda Rasulullah saw:
Bawalah bendera itu.
Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa membawa bendera termasuk bagian dari tugas kenegaraan.”[5]
7. Ibnu Qayyim berkata, “Pasukan disunnahkan membawa bendera besar dan panji-panji. Warna liwa (bendera besar) disunnahkan berwarna putih, sedangkan panji-panjinya boleh berwarna hitam”.[6]
8. Imam Nawawiy dalam ar-Raudlah[7], berkata, “Amir bertugas menyerahkan panji-panji kepada pasukan. Setiap divisi pasukan membawa sebuah panji”.
9. Imam Sarkhasiy berkata, “Bendera kaum Muslim (liwa) harusnya berwarna putih.  Sedangkan panji-panjinya (raayaat) berwarna hitam”.[8]
10. Imam Abu Yusuf berkata, “Rasulullah saw biasa menyerahkan liwa (bendera besar)  kepada pemimpin pasukan, yang diikatkan di ujung tombaknya. Rasulullah saw telah menyerahkan liwa kepada ‘Amru bin al-‘Ash dalam perang Dzatul Salasil. Setelah  beliau saw wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq menyerahkan liwa kepada Khalid bin Walid yang dipasang di ujung tombaknya”.[9]
===

Begitulah penjelasan para ulama mengenai Hukum Mengadopsi Bendera di Dalam Islam, dari penjelasan diatas tampak begitu pentingnya keberadaan bendera (al-liwa) dan panji – panji (ar-rayah) dalam Islam. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah bisakah kita (kaum muslimin) sekarang melaksanakan sunnah yang mulia ini? Siapakah Imam (Khalifah) yang akan menyerahkan liwa kepada Amir yang akan membebaskan negeri – negeri Islam yang sedang terjajah? Siapakah Amir yang akan menyerakan ar-rayah (panji – panji) kepada para pasukan yang akan berperang melawan tentara kafir yang telah menumpahkan darah kaum muslimin di Syam, Palestina, Rohingya, Pakistan, Iraq, Afganistan, dan lainnya? Maka sudah saatnya kaum muslimin bersungguh – sungguh memperjuangkan diterapkannya kembali Syariah Islam dan bingkai Khilafah, karena hanya inilah satu – satunya institusi yang mampu menerapkan Islam secara kaffah sesuai sunnah Nabi saw.

 Catatan kaki:
[1] Fath al-Bariy: VI/127.
[2] Tharh at-Tatsrib: VII/221.
[3] Fath al-Bariy
[4] ibidem: VI/127.
[5] ‘Umdatul Qaariy: XII/47.
[6] Zaadul Ma’ad: III/667.
[7] Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin:X/238.
[8] Syarh as-Sayir al-Kabir: I/72.
[9] Kitab al-Kharaj, hal. 193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome to My Blog

- Copyright © Perpustakaan Surga -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -