Sepatah Kata
Lantunan ayat-ayat Allah begitu indah terdengar. Seberkas cahaya yang
begitu terang. Sekeping keinginan untuk menggapai cahaya itu …
keinginan … keinginan itu begitu kuat … mendesak … dan tidak
tertahankan.
Ku buka lembar demi lembar firman Allah, ku coba meraih sedikit dari
cahaya itu, dan kutuangkan beribu kebahagiaan yang kurasa dari secuil
cahaya yang sempat tergapai lewat lembaran-lembaran ini.
Harapanku hanya kepada Mu, Zat yang maha mengetahui lagi maha
bijaksana. Semoga Engkau memberi petunjuk kepada hamba Mu yang lemah dan
diliputi berbagai kekurangan ini. Semoga yang tersalah dari
lembaran-lemabaran ini, dengan kasih dan sayang Mu dapat termaafkan.
Karunia Mu berupa keikhlasan dan kebenaran adalah puncak pengharapan.
Jadikanlah kami sebagai hamba Mu yang ikhlas dan senantiasa berjalan di
atas petunjuk Rasul Mu –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Amma ba’du …
Berikut ini, sepuluh wasiat Allah dalam surah al An’aam, coba kami
paparkan kepada para pembaca sebagai wujud dari kesyukuran dan
kebahagiaan kami setelah usai membaca dan mempelajari 10 wasiat
tersebut. Kami sangat sadar, dengan segala keterbatasan, sungguh risalah
ini amatlah kurang dan mungkin pula ada kekeliruan didalamnya. Namun
demikianlah manusia, makhluk yang tak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Tetapi hal itu, tidaklah membuat surut keinginan kami untuk
membagi kebahagiaan batin ini kepada saudara-saudaraku seiman, karena
andai hal itu adalah penghalang, kami yakin tak akan ada lagi nasehat
menasehati.
Untuk diketahui, risalah ini kami lengkapi dengan catatan kaki yang
penomoran dan halamannya bersumber dari “al Maktabah as Syaamilah, al
isdhaar at tsaani, 2.11″. Karena itu, kami sangat menyadari kekurangan
dalam risalah ini, yang olehnya kami berharap kepada para Pembaca yang
budiman masukan dan kritikan yang baik bila didapatkan kesalahan dalam
risalah singkat ini. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai
hamba-hamba-Nya yang saling tolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Washallallahu ‘ala Muhammad wa ‘alaa Alihi wa Shabihi wa sallam. Wal hamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.
Makassar, 21 Shafar 1430 H
Muhammad Irfan Zain
Surah al An’aam
Ayat 151 – 153
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (151) وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ
الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ (152) وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (153) [الأنعام/151، 153]
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu
yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan
penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa.” (Al-an’am; 151-153)
Keutamaan 3 ayat ini
Allah ta’ala menurunkan agama yang mulia ini untuk mengeluarkan
manusia dari jalan yang gelap gulita dan menuntun mereka ke jalan yang
terang benderang. Untuk tujuan itu pula, maka Allah menurunkan kitab-Nya
yang mulia sebagai pedoman dan tuntunan hidup buat mereka. Allah ta’ala
berfirman;
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ
لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ
كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15)
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ
وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [المائدة/15، 16]
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan
banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang
itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”. (al Maidah;
15-16)
Maka untuk menjadikan hidup manusia berarti dan bermanfaat, haruslah
mereka berpegang teguh dengan ajaran agama yang mulia ini. Tidak ada
jalan yang mungkin mereka tempuh untuk meraih kebahagiaan hidup ini
melainkan dengan berkomitmen terhadap agama Allah.
Pada hakikatnya, seluruh bagian dari agama Allah adalah wasiat Allah
kepada manusia. Wajib bagi mereka mengamalkan wasiat itu, jika mereka
ingin mendapatkan kemuliaan dari Allah. Allah ta’ala berfirman
menyatakan bahwa seluruh bagian dari agama ini adalah wasiat-Nya;
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
[الشورى/13]
“Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan
apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”.
Namun demikian, diantara ayat Allah ada beberapa ayat yang
dikhususkan dengan disebutkannya ayat-ayat itu sebagai wasiat Allah.
Pengkhususan ini tentunya memberi isyarat akan urgennya kandungan
ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat yang dimaksud adalah tiga ayat dari surah
al An’am, pada ayat 151-153, yang dikenal dengan istilah “al Washaaya al
‘Asyr” (sepuluh wasiat Allah).
Sepuluh wasiat tersebut adalah wasiat Allah yang abadi, yang telah
diberikan kepada nabi dan Rasul sebelum Muhammad –shallallahu ‘alaihi
wasallam-, dan tidak pernah dinaskh (dihapuskan) dalam syari’at manapun
hingga syari’at Rasulullah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata;
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى وَصِيَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي عَلَيْهَا خَاتَمُهُ،
فَلْيَقْرَأْ : ” قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ
عَلَيْكُمْ “ إِلَى قَوْلِهِ ” لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “
“Barang siapa yang ingin melihat wasiat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang tertera diatasnya cincin stempel milik Beliau,
maka hendaklah ia membaca firman AllahTa’ala:…(surah Al-An’am151-153,
seperti tersebut di atas).
[1]. Ibnu ‘Abbas –-radhiyallahu ‘anhuma- berkata;
هذه الآيات المحكمات التي ذكرها الله في سورة ” الأنعام ” أجمعت عليها شرائع الخلق, ولم تنسخ قط في ملة.
“Ayat-ayat ini adalah merupakan ayat-ayat muhkam (jelas) yang telah
disebutkan dalam surat “al An’aam”, seluruh syari’at mengakuinya, dan
ayat-ayat tersebut bukanlah ayat-ayat yang telah dihapus (mansukh)”
[2]. ‘Ubadah bin Ash-shaamit –-radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
أيكم يبايعني على ثلاث ثم تلا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكم” حتى فرغ من هذه الآيات فمن وفى فأجره
على الله ومن انتقص منهن شيئا فأدركه الله به في الدنيا كانت عقوبته ومن
أخر إلى الآخرة فأمره إلى الله إن شاء عذبه وإن شاء عفا عنه
“Siapakah yang ingin membai’atku atas 3 ayat ini, kemudian Beliau
membaca 3 ayat dalam surat Al-an’am (151-153). Setelah usai membaca ke-3
ayat tersebut, Beliau bersabda; barangsiapa yang melaksanakan seluruh
wasiat yang terkandung dalam ke-3 ayat tersebut, niscaya Allah –-ta’ala-
lah yang akan memberinya pahala. Namun barangsiapa yang melanggar salah
satu dari wasiat tersebut, kemudian Allah –-ta’ala-mengadzabnya di
dunia, maka yang demikian itulah hukuman atasnya. Dan barangsiapa yang
hukumannya diakhirkan oleh Allah –-ta’ala- hingga hari kiamat, maka
perkaranya kembali kepada Allah –-ta’ala-; jika Ia kehendaki, Ia akan
mengazabnya; dan jika Ia kehendaki, Ia akan mengampuninya”
[3].
Demikianlah beberapa keterangan yang menginforasikan kepada kita akan
keutamaan dari tiga ayat yang telah disebutkan, sekaligus
menginformasikan tentang sebab penamaan ayat-ayat tersebut dengan “al
washaaya al ‘asyr” (sepuluh wasiat Allah). Dan disamping sebab yang
telah disebutkan, sebab lain –wallahu a’lam- adalah karena pada setiap
akhir dari tiga ayat tersebut, Allah ta’ala berfirman;
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِه [الأنعام/151]
“Demikian itu yang diwasiatkan kepadamu … “. Allah ta’ala mengulangi
firman-Nya ini pada setiap akhir dari tiga ayat tersebut. Olehnya itu
–wallahu a’lam-, ayat-ayat ini dikhususkan dengan istilah “sepuluh
wasiat Allah”.
10 Wasiat dalam 3 ayat ini;
- Tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.
- Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa.
- Tidak membunuh anak-anak karena takut kemiskinan.
- Tidak mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.
- Tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
- Tidak mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga ia dewasa.
- Menyempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
- Berlaku adil kepada setiap orang.
- Memenuhi janji kepada Allah -ta’ala-.
- Mengikuti jalan Allah -ta’ala- yang lurus.
Penjelasan singkat terhadap 3 ayat tersebut
Tiga ayat diatas menunjukkan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan
oleh setiap muslim guna meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Hal ini dapat dipahami –diantaranya- dari seruan Allah
–-ta’ala- mengawali ayat-ayat-Nya ini. Allah -ta’ala- membuka ayat ini
dengan seruan kepada segenap kaum muslimin untuk naik meraih sesuatu
yang tinggi. Allah –-ta’ala- berfirman; قُلْ تَعَالَوْا “”, yang pada
asalnya berarti seruan kepada seseorang untuk naik menuju sang penyeru,
berasal dari kata “العُلُوُّ”, yang berarti tinggi. Demikianlah, ayat
ini berisi peringatan-peringatan Ilahi, yang akan mengantarkan seseorang
kepada sebuah kedudukan tinggi lagi diridhai oleh-Nya. Hal ini akan
lebih jelas dengan melihat setiap akhir dari potongan ayat-ayat
tersebut;
” Pada ayat 151, Allah -ta’ala- mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya;
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون
” Supaya kamu memahami (nya).”
” Pada ayat 152, Allah -ta’ala- mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya;
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون
” Agar kamu dapat paham dan senantiasa ingat. “
” Pada ayat 153, Allah -ta’ala- mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya;
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
” Agar kamu dapat paham, senantiasa ingat dan menjalankan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya (bertakwa).”
Karena itu, barangsiapa yang melaksanakan seluruh wasiat yang
disebutkan dalam ayat ini, pastilah ia akan menyandang 3 predikat yang
telah dijanjikan oleh Allah -ta’ala- kepadanya melalui ke-3 ayat yang
telah disebutkan; hal mana akan mengantarkan mereka kepada sebuah
ketinggian, di dunia maupun di akhirat -kelak- insya Allah -ta’ala-.
Wasiat Pertama
Tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.
Syirik adalah sebesar-besar dosa yang seorang hamba lakukan terhadap
Zat Yang telah menciptakan dan mengaruniakannya berbagai macam nikmat
yang tiada terhingga. Allah -ta’ala- berfirman;
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ [لقمان/13]
“Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan-Nya adalah benar-benar kezaliman yang
besar.” (Luqmaan; 13)
Karena besarnya kedzaliman seorang hamba yang berlaku syirik, maka
Allah telah menetapkan beberapa konsukwensi logis yang akan diterima
oleh orang tersebut sebagai hukuman atas kejahatan terbesar yang telah
ia perbuat, sanksi di dunia dan sanksi di akhirat;
” Dosa seorang yang melakukan syirik tidak akan diampuni hingga ia bertaubat kepada Allah -ta’ala-, sebagaimana firman-Nya;
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ [النساء/48]
” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan dengan
Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-nisaa’; 48)
” Seorang yang berlaku syirik kepada Allah -ta’ala-, halal darahnya, sebagaimana firman-Nya;
فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ
وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
[التوبة/5]
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu , maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka
bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi maha Penyayang.” (At-taubah; 5)
Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ
الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ
الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada sembahan
yang benar selain Allah –sendiri-Nya- dan bahwasanya aku ini adalah
utusan Allah kecuali tiga golongan, yaitu; seorang duda yang berzina,
seorang yang membunuh, dan seorang yang keluar dari agamanya dan
meninggalkan jama’ah.”
[4].
” Seluruh amalan baik yang telah dilakukan oleh seseorang akan
musnah, bila ia melakukan perbuatan syirik kepada-Nya. Allah -ta’ala-
berfirman;
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ [الزمر/65]
” Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan-Ku , niscaya akan hapuslah amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-zumaar; 65)
” Tidak boleh menikah dengan orang-orang musyrik. Allah -ta’ala- berfirman;
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ
مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ [البقرة/221]
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-baqarah; 221)
” Orang musyrik tidak mewarisi seorang muslim, demikian –juga- sebaliknya. Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Seorang muslim tidak mewarisi kafir, dan seorang kafir pun tidak mewarisi seorang muslim.”
[5].
” Seorang yang meninggal dalam keadaan musyrik; tidak dimandikan,
tidak diberi kafan,tidak dishalati dan tidak pula dikuburkan pada
pekuburan kaum muslimin.
” Orang musyrik tidak akan masuk kedalam syurga untuk selamanya, sebagaimana firman-Nya;
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ [المائدة/72]
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya
Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai
Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim
itu seorang penolongpun.” (Al-maidah; 72)
Demikianlah hukuman yang Allah –-ta’ala- siapkan bagi orang-orang
musyrik, yaitu orang-orang yang menduakan Allah –-ta’ala- dalam segala
hal yang menjadi keberhakan-Nya sendiri; baik berupa hak rububiyah-Nya,
uluhiyyah-Nya atau nama dan sifat-Nya.
Diantara contoh perbuatan menduakan Allah –-ta’ala- dalam
rububiyyah-Nya adalah perbuatan mengkultuskan orang atau tokoh tertentu
secara berlebihan hingga menyelisihi ketetuan Allah –-ta’ala-. Al Imam
Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dalam ‘Kitab Tauhid’ nya
mengangkat sebuah judul bab;
من أطاع العلماء والأمراء في تحريم ما أحل الله أو تحليل ما حرمه فقد اتخذهم أربابا من دون الله
“Barangsiapa taat kepada para ulama dan para pemimpin dalam
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah atau dalam menghalalkan
sesuatu yang diharamkan-Nya, maka sungguh ia telah mengangkatnya sebagai
tuhan-tuhan tandingan selain Allah.” Dan benarlah, bahwa apa yang
Beliau sebutkan itu adalah salah satu dari penafsiran firman Allah
–-ta’ala-;
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ [التوبة/31]
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”
[6].
Olehnya itu, berkaitan dengan ketaatan kepada pemimpin atau tokoh
tertentu, hanyalah diperbolehkan pada hal-hal ma’ruf (yang baik dan
bukan kemaksiatan). Adapun bila yang diperintahkan itu adalah sebuah
kemaksiatan, maka tidak boleh diikuti, -bahkan- yang memerintah dan yang
diperintah –keduanya- wajib tunduk –hanya- kepada Allah. Mempertegas
hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib
–radhiyallahu ‘anhu-;
بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – سَرِيَّةً ،
وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ
يُطِيعُوهُ ، فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – أَنَّ تُطِيعُونِى قَالُوا بَلَى . قَالَ عَزَمْتُ
عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ، ثُمَّ
دَخَلْتُمْ فِيهَا ، فَجَمَعُوا حَطَبًا فَأَوْقَدُوا ، فَلَمَّا هَمُّوا
بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ، قَالَ بَعْضُهُمْ
إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فِرَارًا مِنَ
النَّارِ ، أَفَنَدْخُلُهَا ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتِ
النَّارُ ، وَسَكَنَ غَضَبُهُ ، فَذُكِرَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم
– فَقَالَ « لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا ، إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ »
“Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mengutus sebuah
pasukan, dan Beliau menunjuk seorang dari Anshar sebagai pemimpin bagi
mereka, dan menyuruh mereka untuk taat kepada sang pemimpin itu. Maka
suatu waktu, sang pemimpin itu marah kepada pasukannya. Ia berkata;
bukankah Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- telah memerintahkan
kalian untuk taat kepadaku ?!. Mereka menjawab; ya. Sang pemimpin
berkata –dalam keadaan yang sangat marah-; kalau demikian kumpulkanlah
kayu bakar, sulutlah apinya dan masuklah kedalamnya !. Maka mereka pun
mengumpulkan kayu bakar dan menyulutnya. Namun ketika mereka akan
membakar diri mereka, sebagian mereka berkata; bukankah kita mengikuti
ajaran Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- agar kita selamat dari
panasnya api ?!. Lantas, haruskah kita sekarang membakar diri-diri kita
?!!. Maka ketika mereka berada dalam kebimbangan tersebut, api pun
berangsur padam, seiring dengan redamnya kemarahan sang pemimpin.
Akhirnya, kabar ini pun diceritakan kepada Rasulullah ––shallallahu
‘alaihi wasallam-, dan Beliau bersabda; “Jika seandainya mereka masuk ke
dalam api tersebut, niscaya mereka tidak akan pernah keluar darinya
untuk selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah ditujukan kepada
perintah yang baik.”
[7].
Diantara contoh syirik dalam uluhiyyah Allah adalah perbuatan seorang
yang mengangkat perantara –dari orang-orang yang telah wafat dan
diklaim sebagai wali Allah- untuk menyampaikan doa yang ia panjatkan
kepada Allah. Misalnya dengan mengatakan; “Ya Allah, kami memohon
kepada-Mu dengan perantaraan Syaikh Fulan atau dengan perantaraan
rasul-Mu, Muhammad ––shallallahu ‘alaihi wasallam- agar diberi
kelapangan rezki dan kesehatan.”. Hal ini adalah satu diantara contoh
perbuatan syirik kepada Allah, karena doa itu adalah ibadah yang
merupakan hak preogatif Allah, tidak boleh disimpangkan kepada siapapun
dari makhluk-Nya. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa itu adalah ibadah.”
[8]. Allah berfirman;
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِي [الفاتحة/5]
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.”. (al Faatihah; 5). Rasulullah ––shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda;
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه
“Apabila engkau memohon, maka mohonlah kepada Allah. Dan apabila engkau memnta pertolongan, maka minta tolonglah kepada Allah.”
[9].
Salah satu contoh syirik kepada Allah dalam kekhususan nama dan sifat
Allah adalah perbuatan seorang menyamakan Allah dalam salah satu dari
sifat-Nya. Misalnya; salah satu dari sifat Allah adalah maha mengetahui
segala perkara ghaib. Maka bila suatu ketika ada orang yang mengakui
bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib, atau ia meyakini bahwa ada
seorang yang dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya orang tersebut
telah jatuh dalam kubangan syirik, dalam persoalan nama dan sifat-sifat
Allah. Allah berfirman;
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ
إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ
وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِين [الأنعام/59]
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”. (al An’aam; 59)
Olehnya itu, seorang diharamkan pergi ke dukun atau yang semacamnya,
lantas bertanya, -terlebih- membenarkan kabar yang disampaikan oleh
dukun atau paranormal tersebut. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda;
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَة
“Barangsiapa mendatangi paranormal, lantas ia menanyakan sesuatu
padanya (yang berkenaan dengan perkara ghaib), niscaya tidaklah akan
diterima (pahala) shalatnya selama 40 malam.”
[10].
Hadits ini menginformasikan kepada kaum muslmin bahwa wajib bagi mereka
untuk menjauhkan diri mereka sejauh-jauhnya dari dukun dan yang
semacamnya, karena mendatangi dan bertanya saja, meski tidak membenarkan
kabar darinya, adalah sebuah dosa besar yang akan diganjar dengan
hukuman yang tidak ringan –sebagaimana disebutkan dalam hadits-.
Adapun bagi mereka yang mendatangi dukun, paranormal dan yang
semacamnya, dan bertanya kepadanya tentang perkara ghaib, lantas
mempercayai kabar yang disampaikannya, maka Rasulullah ––shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda;
مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يَوْما
“Barangsiapa mendatangi paranormal dan membenarkan informasi darinya,
maka tidaklah akan diterima (pahala) shalatnya selama 40 hari.”
[11].
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau paranormal dan ia mempercayai
kabar yang disampaikannya, maka sungguh ia telah kafir (ingkar) terhadap
syari’at yang telah diturunkan kepada Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi
wasallam-.”
[12].
Dari kedua hadits ini dipahami bahwa seorang yang datang bertanya
kepada dukun dan mempercayai kabar dari sang dukun tersebut, maka ia
akan mendapatkan hukuman dua kali lipat dari seorang yang sekedar
mendatangi dan bertanya kepadanya namun tidak mempercayai informasi
darinya. Hukuman yang dimaksud adalah;
1. Ia akan dikategorikan sebagai orang yang ingkar kepada syari’at
Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam-, yaitu ketika ia berkeyakinan
bahwa ada seorang yang diberi kemampuan oleh Allah untuk mengetahui
perkara-perkara ghaib, sedangkan syari’at Rasulullah ––shallallahu
‘alaihi wasallam- menyatakan bahwa tidak ada yang mengetahui perkara
ghaib selain Allah.
2. Pahala shalatnya selama 40 hari tidak akan diterima. Artinya bahwa
ia tetap berkewajiban melaksanakan shalat selama waktu itu, tetapi
selama waktu itu juga, Allah tidak akan menerima pahala shalatnya.
Dari keterangan ini –pula- diketahui bahwa seorang yang mendatangi
dukun atau yang semisalnya dan mempercayai informasi darinya, maka ia
tetap dikategorikan sebagai muslim, yaitu selama ia meyakini bahwa
pengetahuan yang dimiliki oleh sang dukun itu –semata- adalah kemampuan
yang diberikan oleh Allah kepadanya. Kesimpulan ini diambil dari hadits
kedua yang menyatakan bahwa mereka itu tidaklah akan diterima (pahala)
shalatnya selama 40 hari, yang mana pernyataan ini –tentu-tidaklah akan
diungkapkan kecuali kepada seorang muslim.
Tetapi bagi mereka yang meyakini akan adanya seorang yang berserikat
dengan Allah –secara mutlak- dalam pengetahuan terhadap perkara-perkara
ghaib, maka tidak diragukan lagi bahwa keyakinan semacam adalah
keyakinan yang akan menjadikan seorang keluar dari wilayah keislamannya
[13].
Wasiat kedua
Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak.
Berbuat baik kepada ke-2 orang tua adalah suatu hal yang wajib
dilakukan oleh setiap orang, terkhusus bagi kaum muslimin. Kewajiban
untuk berbuat baik ini, tidak saja ditujukan kepada orang tua yang
seagama, bahkan wajib pula bagi segenap muslim berbuat baik kepada ke-2
orang tuanya yang tidak seagama. Allah -ta’ala- berfirman;
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ [لقمان/14]
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah
kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.” (Lukman; 14)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [لقمان/15]
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (Lukman; 15)
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah -ta’ala- (kepada seseorang) tergantung pada keridhaan
ke-2 orang tuanya, dan kemarahan Allah -ta’ala- (kepada seseorang)
tergantung pada kemarahan ke-2 orang tuanya.”
[14].
أَلَا أُحَدِّثُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ قَالَ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ وَشَهَادَةُ
الزُّورِ أَوْ قَوْلُ الزُّورِ فَمَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
“Maukah engkau aku kabari tentang sebesar-besarnya dosa kepada Allah
-ta’ala-?. Para sahabat berkata; kami mau wahai Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wasallam-. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda;
syirik kepada Allah -ta’ala-, dan durhaka kepada ke-2 orang tua. (Abu
bakrah ––radhiyallahu ‘anhu-) berkata; ketika itu Beliau duduk dalam
keadaan bertelekan, lantas Beliau bersabda; demikian pula sumpah palsu,
demikian pula sumpah palsu; demikianlah, Beliau terus mengulangi
perkataan tersebut, hingga kami (merasa iba) dan berkata; kalau saja
Beliau berhenti.”
[15].
Berbuat baik kepada kedua orang tua dapat diwujudkan dengan berbagai macam cara, yaitu;
- Diwujudkan dalam bentuk perbuatan, misalnya dengan berkhidmat
(membantu) mereka menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya, melaksanakan
perintahnya ketika mereka meminta tolong melakukan sebuah pekerjaan, dan
contoh-contoh yang semisal dengan itu.
- Selain itu, perbuatan baik ini –juga- wajib diwujudkan dalam bentuk
perkataan, yaitu dengan menjaga adab ketika berbicara dengan mereka
berdua, tidak menghardik, tidak membesarkan suara dihadapan mereka, dan
contoh-contoh yang semisal dengan itu. Allah –-ta’ala- berfirman;
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا
جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) [الإسراء/23، 24]
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”. (al Israa; 23-24).
Masuk pula dalam adab berbicara kepada kedua orang tua yaitu tidak
memanggil mereka berdua dengan menyebut namanya. Dan adab ini telah
dicontohkan oleh nabiullah Ibrahim alaihissalam, di mana Beliau
memanggil bapaknya yang kafir dengan panggilan yang sangat santun,
sebagaimana diberitakan oleh Allah;
يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ
كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ
يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
[مريم/44، 45]
“Wahai ayahandaku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai ayahandaku,
sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang
Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”. Demikianlah adab
yang ditunjukkan oleh nabiullah Ibrahim kepada ayahandanya yang kafir,
maka –tentu- terhadap orang tua yang muslim, adab ini lebih utama untuk
ditujukan kepada mereka.
- Perbuatan baik kepada keduanya wajib juga diwujudkan dengan harta,
yaitu seorang anak tidak boleh berlaku bakhil kepada mereka dengan harta
yang ia miliki. Kalau ia memiliki kelebihan harta, maka merupakan hal
yang sangat pantas baginya untuk memberikan sebagian dari kelebihan
hartanya tersebut kepada orang tua yang selama ini telah bersusah payah
membesarkan dan mengurusinya.
Demikian beberapa bentuk bakti (birr) yang wajib untuk diberikan oleh
seorang anak kepada kedua orang tuanya. Namun dewasa ini ada sebuah
fenomena yang sungguh sangat menyayat hati. Fenomena yang dimaksud bahwa
realita saat ini menunjukkan adanya orang-orang yang sangat baik dan
santun dalam berinteraksi dengan teman atau istrinya, tetapi sangat
buruk perangainya ketika berinteraksi dengan orang tuanya sendiri. Tentu
hal demikian adalah sebuah fenomena yang seharusnya tidak boleh
terjadi. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah satu tanda
munculya malapetaka akhir zaman, berupa angin merah (pembawa bencana),
gempa, longsor, pengubahan rupa, dan bencana-bencana lain yang datang
silih berganti hingga datangnya hari kiamat adalah ketika …
أطاع الرجل امرأته و عق أمه و أدنى صديقه و أقصى أباه
“Seorang anak laki-laki taat kepada perkataan istrinya tetapi ia
membangkan kepada ibunya, dan ia berlaku santun kepada temannya tetapi
kasar kepada bapaknya.”
[16].
Hal lain yang juga masuk dalam kategori perbuatan baik (al birr)
kepada kedua orang tua adalah tidak mencela bapak atau ibu orang lain,
yang dapat menyebabkan orang itu –pun lantas mencela balik orang tuanya.
Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
مِنْ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ
يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ
أُمَّهُ
“Termasuk dalam kategori dosa besar, bila seseorang mencaci ke-2
orang tuanya. Para sahabat bertanya; adakah seseorang yang (akan tega)
mencaci ke-2 orang tuanya?. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda; ya, jika seseorang mencaci ayah atau ibu orang lain, kemudian
orang itu (balas) mencaci ke-2 orang tuanya; sungguh ia telah mencaci
ke-2 orang tuanya sendiri.”
[17].
Selanjutnya,
Orang yang paling berhak untuk diserahkan bakti sang anak kepadanya
adalah ibu. Demikianlah keutamaan yang Allah –-ta’ala- lebihkan bagi
seorang ibu di atas seorang ayah. Abu Hurairah –-radhiyallahu ‘anhu-
berkata;
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ
ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
“Seorang laki-laki pernah datang bertanya kepada Rasulullah
–-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ia berkata; wahai Rasulullah
–-shallallahu ‘alaihi wa sallam-, siapakah dari kedua orang tuaku yang
paling berhak mendapatkan baktiku kepadanya ?. Rasulullah –-shallallahu
‘alaihi wa sallam- berkata; ‘ibumu’. Orang itu bertanya lagi; kemudian
siapa lagi setelah itu wahai Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam-
?. Beliau kembali berkata; ‘ibumu’. Selanjutnya ia kembali mengulangi
pertanyaannya, dan Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- kembali
berkata; ‘ibumu’. Kemudian barulah pada kali yang keempat, setelah orang
itu kembali mengulang pertanyaannya, Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi
wa sallam- pun berkata; ‘kemudian ayahmu’.”
[18].
Keistimewaan yang dimiliki oleh seorang ibu di atas hak yang dimiliki
oleh seorang ayah kepada anaknya, sungguh merupakan hal yang sangat
wajar, mengingat betapa peranan, fungsi dan tanggungjawab yang begitu
besar berada pada pundak seorang ibu dalam membesarkan, merawat dan
mendidik sang anak hingga ia tumbuh menjadi generasi yang rabbani. Hal
demikian –tentu- memberi isyarat yang jelas bahwa seorang ibu memang
sangat dituntut untuk dekat dan lebih banyak memberikan perhatian,
perawatan dan pembinaan kepada anak-anaknya daripada seorang ayah yang
memikul beban dan focus tanggungjawab yang berbeda. Olehnya itu, maka
dinyatakanlah bahwa …
الأم مدرسة الأمة
“Seorang ibu adalah sekolah bagi ummat ini.” Keuletan dan kesabaran
mereka –setelah karunia dan taufik Allah- adalah sebab lahirnya
generasi-generasi pejuang. Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda;
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ …
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ
رَعِيَّتِهَا …
“Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya … seorang laki-laki
adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya itu. Wanita pun
adalah pemimpin di rumah suaminya, dan kelak ia –juga- akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya.”
[19].
Dinyatakan dalam hadits ini bahwa seorang wanita adalah pemimpin yang
bertanggungjawab terhadap rumah suaminya. Artinya bahwa tugas pokok
seorang wanita (istri) adalah menjaga keadaan rumah agar tetap berada
dalam keadaan kondusif, dan include didalamnya fungsi mereka dalam
pembinaan anak. Olehnya itu maka Allah –-ta’ala- berfirman menjelasakan
hal tersebut;
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب/33]
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”. (al Ahzaab;
33). Menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsiir –-rahimahullah- berkata;
الزمن بيوتكن فلا تخرجن لغير حاجة.
“Bertetap dirilah kalian di rumah-rumah kalian, dan janganlah keluar tanpa adanya hajat.”
[20].
Maksudnya bahwa jika ada hajat untuk keluar, maka tidak mengapa bagi
mereka untuk keluar rumah. Tetapi wajib baginya untuk memperhatikan
syarat-syarat yang harus terpenuhi agar mereka bisa keluar dari
sebaik-baik tempat bagi mereka. Syarat yang dimaksud adalah;
- Aman dari fitnah, baik fitnah yang akan menimpa mereka atau fitnah yang bersumber dari mereka.
v Olehnya itu, maka syari’at yang mulia ini mewajibkan mereka untuk
memakai busana muslimah tatkala keluar dari rumah-rumahnya dan
berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram baginya. Allah
–-ta’ala- berfirman;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
[الأحزاب/59]
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.””. (al Ahzaab; 59)
v Olehnya itu, maka syari’at yang mulia ini ketika membolehkan
wanita untuk menghadiri shalat secara berjama’ah di masjid; ia
menyatakan bahwa meski hal itu dibolehkan tetapi rumah-rumah mereka
adalah sebaik-baik tempat shalat bagi mereka, dan juga syari’at ini
mengharamkan mereka untuk keluar dengan memakai parfum atau yang
sejenisnya. Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
“Janganlah kalian melarang para wanita untuk menghadiri masjid-masjid
Allah. Tetapi wajib bagi mereka yang ingin keluar menghadiri
masjid-masjid tersebut untuk tidak memakai parfum ketika keluar
menghadirinya.”
[21]. Dalam riwayat lain, dari Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- dikatakan;
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk menghadiri
masjid-masjid. Namun rumah-rumah mereka adalah lebih baik baginya.”
[22].
v Olehnya itu juga maka syari’at mengancam wanita-wanita yang keluar
dari rumah-rumahnya dalam keadaan tidak berbusana muslimah (menampakkan
auratnya). Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا … نِسَاءٌ
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ
الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا
وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah saya saksikan
sebelumnya -salah satu diantaranya adalah;- wanita-wanita yang
berbusana tetapi mereka ibarat tidak berbusana, berjalan
berlenggak-lenggok, dan kepala-kepalanya bagaikan punuk unta; mereka itu
tidak masuk surga dan tidak akan mencium aromanya, padahal aromanya
sudah dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.”
[23].
- Jika mereka hendak beraktifitas di luar rumah, maka wajib baginya
untuk mengingat dan tidak mengabaikan tanggungjawab asalnya, yang kelak
akan mereka pertanggungjawabkan kepada Allah –-ta’ala-. Berkhidmat
terhadap suami dan melakukan pembinaan terhadap anak adalah dua tugas
pokok seorang wanita, sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya.
Maka merupakan hal yang sangat tidak wajar bila di pagi hari sang istri
telah berangkat terlebih dahulu untuk melakukan aktifitasnya, sebelum
suami dan anaknya. Lantas ketika petang, sang suami dan anak-anaknya
telah berkumpul di rumah menanti kedatangan sang istri yang tercinta.
Hal yang perlu diingat bahwa masing-masing manusia memiliki tugas dan
fungsinya tersendiri. Dan setiap mereka akan diganjar sesuai dengan
tingkat keberhasilannya menyelesaikan tugas dan fungsinya tersebut. Maka
puncak keberhasilan seorang wanita –sebagai seorang istri sekaligus
ibu- adalah ketika ia berhasil menjalankan fungsinya tersebut secara
maksimal. Dan ketidakberhasilannya adalah ketika ia mengabaikan dan
kemudian gagal menjadi seorang istri dan gagal menjadi seorang ibu yang
baik bagi anak-anaknya. Olehnya, nasehat kami bagi para wanita yang
memiliki aktifitas di luar rumah, apa pun jenis aktifitas tersebut;
janganlah anda memicingkan mata, mengecilkan atau –bahkan- menghina
seorang wanita yang menetap di rumahnya, berbakti kepada suami dan
membina anak-anaknya. Cukuplah kemuliaan bagi mereka, bahwa mereka telah
mengamalkan firman Allah;
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب/33]
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”. (al Ahzaab;
33) … Cukuplah kemuliaan bagi mereka, ketika mereka telah bertetap pada
sebaik-baik tempat buatnya, sebagaimana sabda Rasulullah –-shallallahu
‘alaihi wa sallam- kepada mereka;
وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Rumah-rumah mereka adalah lebih baik baginya.”
[24] … Dan cukuplah kemuliaan bagi mereka, ketika Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي
الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Bila seorang wanita telah melaksanakan shalat wajib lima waktu, ia
pun telah berpuasa Ramadhan, menjaga kehormatan dirinya, dan taat kepada
suaminya; maka sungguh akan dikatakanlah kepadanya, ‘Masuklah engkau ke
dalam Surga lewat pintu mana saja yang engkau inginkan’.”
[25].
Demikianlah kemuliaan yang Allah –-ta’ala- janjikan kepada seorang
istri dan ibu sejati, maka bagaimanakah kiranya pahala yang akan mereka
dulang jika seandainya mereka –pun berhasil menjadi seorang guru,
perawat, dokter, atau da’iyah yang sukses dalam profesinya tersebut??? …
Allah –-ta’ala- berfirman;
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ [البقرة/158]
“Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan
hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui.”. (al Baqarah; 158)
Selanjutnya,
Bila ditanyakan, ‘Bagaimana berbuat baik terhadap orang tua yang
telah wafat ?’. Dikatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua yang
telah wafat dapat dilakukan dengan lima perkara sebagaimana yang
ditunjukkan oleh riwayat Malik bin Rabi’ah as Saa’idi, Beliau
–-radhiyallahu ‘anhu- berkata;
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا
بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا
وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ
صَدِيقِهِمَا
“Suatu ketika datang seseorang dari Bani Salamah menghadap Rasulullah
–-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Laki-laki itu berkata “Ya Rasulullah
apakah masih ada kesempatan buatku untuk berbakti kepada kedua orang
tuaku setelah wafatnya?”. Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam-
menjawab “Ya, masih ada”, yaitu;
-
- Berdo’a untuk keduanya
- Memohonkan ampunan bagi keduanya
- Melaksanakan janji dan cita-citanya ketika masih hidup
- Silaturrahmi kepada orang-orang yang merupakan kerabat dekat orang tua.
- Memuliakan teman-temannya.[26]
Wasiat Ketiga
Tidak membunuh anak-anak karena takut kemiskinan.
Kemiskinan terkadang membuat seseorang gelap mata dan tidak dapat
memfungsikan rasionya secara cermat. Hal inilah diantara sebab pemicu
terjadinya aborsi atau pembunuhan anak. Karena itu, Allah -ta’ala-
-sedini mungkin- telah memperingatkan manusia agar tidak terjebak dalam
kerancuan berfikir ala jahiliyyah.
Allah -ta’ala- telah menjamin rezki seluruh makhluk yang terlahir dimuka bumi ini, sebagaimana firman-Nya;
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ
رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ
مُبِينٍ [هود/6]
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata .”
(Huud; 6)
Bertolak dari janji Allah -ta’ala- ini, maka Ia pun mengharamkan
seseorang membunuh anaknya; baik karena kafakiran yang tengah melilit
mereka, ataupun karena adanya rasa khawatir terhadap kemiskinan yang
–mungkin- akan menimpa mereka -kelak dikemudian hari-, tersebab karena
kelahiran sang anak. Mengapa … ?
Allah -ta’ala- berfirman dalam ayat ini;
نحن نرزقكم و إياهم
“Kamilah Yang akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” Isyarat
yang hendak disampaikan dalam ayat ini bahwa kemiskinan yang Allah
tengah jadikan ujian bagi seseorang bukanlah dipicu karena lahirnya sang
anak. Hal ini disebabkan karena masing-masing dari mereka, orang tua
dan sang anak, memiliki rezkinya tersendiri yang telah Allah tetapkan
bagi keduanya. Olehnya maka kelahiran sang anak tidaklah akan
berpengaruh terhadap ketetapan rezki yang telah Allah berikan kepada
sang orang tua.
Ayat yang serupa dengan ayat yang tengah dalam bahasan ini, pun
disampaikannya dalam surat al Israa’. Hanya saja, pada surah itu Allah
-ta’ala- mendahulukan penyebutan rezki anak-anak sebelum menyebutkan
rezki ke-2 orang tua; sebagai isyarat akan diharamkannya membunuh anak
atau janin, karena timbulnya rasa khawatir akan tertimpa kemiskinan
-kelak dikemudian hari-, disebabkan lahirnya sang anak; Allah-lah Yang
akan mengatur rezki mereka dan Yang -juga- akan mengatur rezki kalian
(para orang tua). Olehnya itu, apa yang menjadi prediksi mereka
dikemudian hari dengan lahirnya sang anak, -seluruhnya- hanyalah semata
was-was dari syaithan, karena Allah -ta’ala- lah yang memberi rezki
kepada anak-anak mereka itu –bahkan meski tidak melalui orang tua
mereka-, sebagaimana Allah pulalah yang akan memberi rezki kepada
orang-orang tua mereka. Allah –-ta’ala- berfirman;
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
[الإسراء/31]
” Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. ” (Al-israa’;
31)
Hak untuk hidup bukanlah hak otoritas yang hanya dimiliki oleh orang
tua, namun hak tersebut -juga- dimiliki oleh sang anak, maka mengapa
merampas dan merenggutnya …?.
Bila hal ini telah dipahami, maka sebuah masalah yang kerap terjadi
dimasyarakat yaitu adanya orang tua yang gelap mata hingga tega
menghabisi nyawa anaknya –wal ‘iyaadzu billah-. Maka bagaimana dengan
masalah ini; apakah sang orang tua pun harus diqishash (dibunuh)
tersebab karena perlakuannya itu ?.
Masalah ini adalah masalah kontroversi dikalangan para ulama. Namun
yang lebih tepat –wallahu a’lam- adalah pendapat yang menyatakan bahwa
orang tua tidaklah diqishash (dibunuh) karena perbuatannya membunuh
anaknya. Diantara alasan dari pendapat ini adalah
[27];
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ يُقْتَلُ الْوَالِدُ بِالْوَلَد
“Tidaklah orang tua itu (boleh) dibunuh karena perbuatannya membunuh anaknya.”
[28].
- Diantara sebab sehingga vonis mati ini tidak diberlakukan bagi orang
tua karena sang anak adalah bagian dari kedua orang tuanya, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;
فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّى ، فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِى
“Fathimah adalah bagian dari diriku (darah dagingku); maka
barangsiapa yang membuatnya marah, ia pun berarti telah membuatku
marah.”
[29].
- Dikenal oleh para ulama akan sebuah kaidah berkenaan dengan penjatuhan vonis terhadap seseorang, yaitu;
درء الحدود بالشبهات
“Membatalkan sebuah vonis hukum yang dikenakan bagi seorang muslim
karena adanya syubhat (yang kuat, pen-).”. Maka bertolak dari kaidah
ini, dan mengingat bahwa –secara umum- orang tua adalah orang yang
paling menginginkan kemaslahatan bagi anaknya, dan terkadang ia
menghukum anaknya dengan memukul, bukan untuk menyakiti tetapi untuk
mendidik; maka dalam kejadian seperti yang disebutkan tersirat akan
adanya sebuah syubhat, bahwa orang tua tersebut tidaklah berkehendak
menghabiskan nyawa anaknya. Hanya saja hal itu dilakukannya untuk
mendidik sang anak. Oleh karena adanya syubhat demikian, maka vonis
terhadap orang tua pun dibatalkan.
Wasiat keempat
Tidak mendekati perbuatan-perbuatan yang keji (al faahisyah),
baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.
Terdapat beberapa penafsiran tentang makna “Al-faahisyah” (perbuatan
keji), sebagaiman disebutkan dalam ayat ini. Namun terlepas dari
perbedaan tersebut, hal yang pasti bahwa seluruh jenis kemaksiatan
adalah perbuatan keji dan dzhalim, karena perbuatan itu adalah bentuk
pengingkaran kepada Allah, -bahkan- sekecil apapun jenis kemaksiatan
itu.
Diantara perbuatan dosa yang dikategorikan sebagai perbuatan
’faahisyah’ adalah perbuatan kaum nabi Luth –’alaihissalaam-,
sebagaimana firman-Nya;
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ [الأعراف/80]
“Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia Berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
’al faahisyah’, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia
ini) sebelummu?” (al A’raaf; 80). Kejahatan ini adalah kejahatan yang
sangat keji, bahkan melebihi perbuatan zina. Diantara hal yang
menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini adalah kejahatan yang lebih berat
dari zina adalah hukuman yang ditimpakan kepada pelaku jenis kejahatan
ini. Rasulullah –shallallahu ’alaihi wasallam- bersabda;
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang engkau dapati melakukan amalannya kaum nabi Luth,
maka bunuhlah pelaku dan objeknya (kalau ia pun ridha terhadap apa yang
dilakukan kepadanya, pen).“
[30].
Kejahatan kedua yang memiliki tingkat kekejian yang sangat besar
–setelah perbuatan homo- adalah menikahi ibu, baik ibu tiri apatah lagi
jika wanita itu adalah ibu kandung, wal ’iyaadzhu billaah. Allah
–ta’ala- berfirman;
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلًا [النساء/22]
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah ’faahisyah’ (amat keji) dan dibenci Allah dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh).“ (an Nisaa’; 22). Diikutkan pula dalam masalah
ini adalah menikah dengan wanita-wanita yang menjadi mahramnya; adik
kandung atau adik tiri, anak ipar, bibi, dll. Tentang hukumannya, maka
sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hukuman yang ditimpakan kepada
seorang yang dengan sengaja mengawini wanita yang merupakan mahramnya
adalah hukuman mati
[31].
Kejahatan lainnya, yang –juga- disebutkan oleh Allah termasuk dalam
kategori perbuatan ’faahisyah’ adalah perzinahan. Allah -ta’ala-
berfirman;
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا [الإسراء/32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. ” (Al-israa’;
32). Al-imam Al-bukhari –rahimahullah- meriwayatkan dengan sanadnya,
dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-, Beliau berkata;
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ
الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا
وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ
وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ
قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ
“Pernah saya bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-; dosa apakah yang terbesar disisi Allah -ta’ala-?. Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda; engkau jadikan sesuatu sebagai
sembahan (tandingan) bagi Allah -ta’ala-, padahal Dialah Yang telah
menciptakanmu. Saya berkata; sungguh perbuatan itu adalah sebuah
kejahatan besar. Saya berkata; selanjutnya apa wahai Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-?. Beliau bersabda; engkau bunuh anakmu
karena khawatir ia makan bersamamu (miskin). Saya berkata; selanjutnya
apa wahai Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-?. Beliau bersabda;
engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
[32].
Faidah lain dari larangan mendekati perbuatan keji ini adalah bahwa
dalam agama yang mulia ini dikenal sebuah kaidah, yaitu “sadd ad
dzari’ah” (menutup segala celah yang dapat menjerumuskan seorang ke
dalam perbuatan maksiat). Maka dari kaidah yang agung ini dinyatakan
bahwa seorang muslim diharamkan untuk mendekati segala perbuatan yang
dapat menjerumuskannya ke dalam perbuatan dosa, -terlebih- jika jenis
dosa itu adalah dosa besar, maka haram bagi mereka untuk mendekatinya
–apalagi- melakukannya.
Wasiat kelima
Tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Tubuh manusia adalah harta titipan Allah -ta’ala- kepadanya, manusia
tidaklah berhak untuk berlaku seenaknya terhadap harta titipan tersebut.
Jasad manusia wajib dihormati, bahkan tatkala seorang telah meninggal,
diharamkan berlaku tidak senonoh terhadap jasad yang telah ditinggal
pergi oleh rohnya itu.
Bila hal ini telah dipahami, jelaslah mengapa Allah -ta’ala-
mengharamkan membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh-Nya.
Beberapa golongan yang Allah –ta’ala- haramkan darah mereka kecuali
adanya sebab yang dibenarkan oleh syari’at, yaitu;
- Orang muslim, haram ditumpahkan darahnya karena keislamannya. Rasulullah –shallallahu ’alaihi wasallam- bersabda;
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ
النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ
التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada
sembahan yang benar melainkan Allah dan bahwa sesungguhnya saya adalah
utusan Allah kecuali karena tiga perkara, yaitu; seorang yang membunuh
(tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at), Orang yang berzina sedang
ia telah menikah dan seorang yang keluar dari agama serta meninggalkan
jama’ah.“
[33].
- Kafir dzimmi, yaitu orang-orang non muslim yang hidup di negara
muslim dan membayar jizyah untuk keamanan mereka. Dalil akan haramnya
menumpahkan darah mereka selama mereka tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan keharaman tersebut adalah firman Allah –ta’ala-;
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا
بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ [التوبة/29]
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah [pajak per kepala yang dipungut
oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai
imbangan bagi keamanan diri mereka] dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.“. (at Taubah; 29)
- Kafir Mu’aahad, yaitu orang-orang kafir yang menjalin perjanjian
damai dengan orang-orang islam. Maka selama mereka tidak menodai
perjanjian tersebut, diharamkan bagi kaum muslimin untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membatalkannya. Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda, mengancam orang-orang muslim yang membunuh
orang musyrik yang telah diberi jaminan keamanan oleh penguasa kaum
muslimin (kafir mu’aahad);
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir yang telah diberi jaminan
keamanan, sungguh ia tidak akan mencium bau syurga, padahal baunya dapat
tercium sejauh 40 tahun perjalanan.”
[34].
- Kafir Musta’man, yaitu orang-orang kafir yang mendapatkan jaminan
keamanan dari seorang kaum muslimin selama mereka tidak membatlkan
jaminan tersebut. Allah –-ta’ala- berfirman;
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ
حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ [التوبة/6]
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”. (at Taubah;
6). Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata terhadap seorang
kafir yang dijamin keamanannya oleh Ummu Hani’e –radhiyallahu ‘anha-;
قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ
“Sungguh kami telah menjamin orang yang telah engkau jamin wahai Ummu Hani’e.”
[35].
Demikianlah beberapa keterangan yang menyebutkan tentang golongan
orang-orang yang haram untuk ditumpahkan darahnya. Maka jika golongan
ini haram untuk ditumpahkan darahnya, bagaimanakah dengan orang-orang
yang membunuh dirinya sendiri … dan bagaimanakah jika yang ia bunuh itu
adalah seorang ‘alim yang shaleh, seorang wali diantara wali-wali Allah
?!. Allah -ta’ala- berfirman;
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ
لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا [النساء/93]
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(An-nisaa’; 93). Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي
نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ
يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا
فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung,
maka ia di dalam neraka akan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dan
ia kekal didalamnya dengan perbuatan itu. Barangsiapa membunuh dirinya
dengan menegak racun, maka di neraka ia akan menggenggam racun tersebut
dan akan terus menegaknya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan
menikamkan besi pada dirinya, niscaya ia akan terus menggenggam besi itu
dan akan terus menikamkannya pada dirinya.”
[36].
Membunuh seseorang merupakan sebesar-besarnya bentuk kedzaliman,
namun perbuatan ini dibenarkan pada beberapa keadaan untuk meraih sebuah
maslahat (kebaikan) yang lebih besar, dan memberantas sebuah bentuk
mafsadat (kejahatan) yang bila dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif
yang akan mengancam kehidupan sosial secara umum dalam sebuah
komunitas. Beberapa perbuatan yang menyebabkan halalnya darah seorang
ditumpahkan adalah;
1. Murtad
2. Membunuh muslim dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh
agama, -terlebih- jika pembunuhan tersebut merupakan rangkaian dari
sebuah perampokan.
3. Berzina bagi seorang yang telah menikah
4. Para pelaku homo dan lesbi
5. Seorang yang menikah dengan orang yang merupakan mahramnya; ibu
tiri, ibu kandung, anak tiri, anak kandung, anak mantu, bibi, dll. Dalil
dari semua yang telah disebutkan adalah keterangan-keterangan yang
telah disebutkan sebelumnya, serta firman Allah –berkenaan dengan
orang-orang yang merampok, menyamun, dan yang semisalnya;
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا
أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا
مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي
الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
[المائدة/33، 34]
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang
Taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap)
mereka; Maka Ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”. (al Maaidah; 33-34). Ibnu Abbas ––radhiyallahu ‘anhu-
berpendapat berkenaan dengan ayat ini bahwa hukuman bagi seorang yang
merampok, membunuh dan mengambil harta adalah dibunuh dan disalib.
Hukuman bagi seorang yang merampok dan membunuh namun tidak mengambil
harta adalah dibunuh. Hukuman bagi mereka yang merampok, mengambil harta
namun tidak membunuh adalah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Dan
hukuman bagi seorang yang merampok, namun tidak membunuh dan tidak
mengambil harta adalah diasingkan
[37].
6. Seorang yang menolak dan tidak mau melaksanakan shalat dan
membayar zakat padahal mereka sanggup untuk membayarnya, sebagaimana
ketetapan Abu Bakar ––radhiyallahu ‘anhu- terhadap orang-orang yang
menolak membayar zakat sepeninggal Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi
wasallam- sedang mereka mampu untuk membayarnya
[38].
Wasiat keenam
Tidak mendekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga ia dewasa.
Mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan adalah suatu
hal yang diharamkan, bahkan pelakunya akan dikenakan sanksi hukum sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Jika harta yang diambil itu, adalah harta titipan seseorang yang
telah meninggal untuk diberikan kepada anaknya -kelak- setelah ia
dewasa; sungguh perbuatan demikian itu, adalah suatu hal yang sangat
keji. Jika ditakdirkan, Allah -ta’ala- menghidupkan kembali sang mayat
tersebut, apakah yang -sekiranya- akan ia lakukan terhadap orang yang
telah memakan hartanya dan menelantarkan anak kandung (ahli warisnya)?.
Karenanya, Allah -ta’ala- memperingatkan secara tegas kepada seluruh
kaum muslimin -pada umumnya-, dan kepada para wali anak yatim -secara
khusus-; agar tidak menyelewengkan sedikitpun dari harta titipan mereka.
Allah -ta’ala- berfirman;
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا
إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
[النساء/10]
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala .” (An-nisaa’; 10)
Tidak diperkenankan menggunakan harta titipan itu, kecuali jika ia
(sang wali) ingin mengembangkannya dengan cara yang dibenarkan oleh
agama dan dengan cara yang terbaik. Sebagaimana tidak pula diperkenankan
untuk menyerahkan harta tersebut kepada anak sang mayit, kecuali
setelah ia dewasa dan mempunyai keahlian dalam mengelolah uang secara
baik dan efisien. Allah -ta’ala- berfirman;
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ
غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا
عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا [النساء/6]
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin
(dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (setelah
dewasa), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Barang siapa mampu, maka hendaklah
ia menahan diri dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi bagi mereka. Dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas .” (An-nisaa’; 6)
Bila ditanyakan siapakah yang dimaksud dengan anak yatim?. Ar-Raaghib berkata;
اليتيم صغير لا أب له
“Anak yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki bapak”
[39].
Selanjutnya dinyatakan dalam kitab “Mu’jam Lughati al Fuqahaa” bahwa
sifat yatim itu dilekatkan bagi seorang yang ditinggal wafat oleh
ayahnya sedang ia belum baligh
[40].
Pengertian ini pun disebutkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wasallam- yang disampaikan oleh Ali –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau
–shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ
“Tiada sifat yatim yang dilekatkan bagi seorang jika ia telah baligh.”
[41].
Maka dari keterangan ini dinyatakan bahwa seorang itu dikategorikan
sebagai yatim bila ayahnya telah meninggal sedang ia belumlah baligh.
Bagaimana menandakan bahwa seorang itu telah baligh ?. Ada beberapa
hal yang bisa dijadikan pertanda akan sampainya usia seseorang pada masa
baligh. Hal-hal itu adalah;
- Mimpi basah, sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-;
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ
حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena itu diangkat dari tiga golongan manusia, yaitu; dari seorang
yang tidur hingga ia terbangun, dan dari seorang anak hingga ia mimpi
(basah), serta dari seorang yang gila hingga ia –kembali- sadar.”
[42].
- Usia telah genap 15 tahun, sebagaimana riwayat Abdullah bin Umar –radhiyallahuma-;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَرَضَهُ
يَوْمَ أُحُدٍ وَهْوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً ، فَلَمْ يُجِزْنِى ،
ثُمَّ عَرَضَنِى يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ
فَأَجَازَنِى . قَالَ نَافِعٌ فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيزِ وَهْوَ خَلِيفَةٌ ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الْحَدِيثَ ، فَقَالَ
إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ .
“Pernah Beliau dihadirkan untuk ikut serta dalam perang uhud ketika
usianya 14 tahun, namun Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak
mengizinkannya ikut serta dalam perang tersebut. Lantas –kembali- Beliau
dihadirkan untuk ikut dalam perang khandak ketika usianya 15 tahun, dan
ketika itu Beliau pun mengizinkannya.”. Nafi’e (perawi hadits ini dari
Ibnu Umar) berkata; “Saya pun tiba menemui Umar bin Abdul Aziz
–rahimahullah- yang ketika itu telah menjabat sebagai khalifah, dan saya
sebutkan riwayat ini kepada Beliau. Maka Beliau berkata; sesungguhnya
usia ini adalah usia yang merupakan batas antara masa anak-anak dan usia
dewasa.”
[43].
- Tumbuhnya rambut kemaluan, sebagaimana riwayat dari ‘Uthayyah al Quradzhi –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau berkata;
كُنْتُ مِنْ سَبْىِ بَنِى قُرَيْظَةَ فَكَانُوا يَنْظُرُونَ
فَمَنْ أَنْبَتَ الشَّعْرَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ لَمْ يُقْتَلْ
فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِتْ.
“Saya pernah menjadi orang-orang yang ditahan dari golongan Yahudi
bani Quraidzhah. Ketika itu kaum muslimin melihat orang-orang yang telah
tumbuh rambut kemaluannya, maka dibunuh. Adapun golongan mereka yang
belum tumbuh rambut kemaluannya, maka ia dibebaskan. Dan kala itu, saya
masuk dalam golongan orang-orang yang belum tumbuh rambut kemaluannya.”
[44].
- Haid bagi wanita
- Muncul buah dada
Bagaimana bila sang wali adalah seorang fakir, bolehkah ia mengambil
bagiannya dari harta sang anak walinya?. Para ahli fikih berkata;
له أن يأكل أقل الأمرين: أجْرَةَ مثله أو قدر حاجته.
“Boleh baginya mengambil bagiannya dari harta anak yatim itu sejumlah
kadar yang paling sedikit antara upah standar atau nominal hajatnya.”
[45].
Namun setelah itu, mereka beda pendapat tentang kewajiban mengembalikan
uang yang telah dipakainya itu, jika suatu ketika mereka berkecukupan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia tidak wajib mengembalikan uang
tersebut karena uang yang dipakainya itu sama dengan imbalan perawatan
dan pemeliharaannya terhadap anak tersebut. Selain itu, Allah –ta’ala-
telah membolehkan penggunaan harta tersebut tanpa menyebutkan kewajiban
menggantinya, yaitu bagi wali yang memang membutuhkannya. Allah –ta’ala-
berfirman;
وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا
فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا [النساء/6]
“Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Barang siapa mampu, maka
hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut.” (An-nisaa’; 6). Maka dari ayat ini
dipahami bahwa kebolehan memanfaatkan harta anak yatim bagi walinya
terpaut dengan dua syarat;
- Wali adalah seorang yang tidak mampu
- Adanya hajat sang wali itu hingga mengambil bagiannya –secara wajar- dari harta sang anak.
Golongan yang lain menyatakan bahwa boleh ia memanfaatkan harta anak
yang menjadi walinya, namun ia berkewajiban untuk mengembalikannya
ketika ia berkelapangan. Alasannya bahwa harta anak yatim itu asalnya
tidak boleh diambil. Olehnya maka bila harta tersebut diambil karena
adanya keperluan yang mendesak, wajiblah menggantinya ketika mampu; sama
dengan seorang yang mengambil harta orang lain di masa dharurat,
wajiblah ia menggantinya ketika berkelapangan. Umar bin Khaththab
–radhiyallah ‘anhu- berkata –berkenaan dengan harta baitul mal-;
إني أنزلت نفسي في مال الله بمنزلة والي اليتيم إن استغنيت استعففت وإن احتجت أخذت منه بالمعروف فإذا أيسرت قضيت .
“Saya memposisikan diriku berkenaan dengan harta Allah (harta yang
terdapat pada baitul mal) sama dengan saya memposisikan diriku berkenaan
dengan harta anak yatim yang berada dalam tanggunganku. Bila saya
berkecukupan, maka saya tidak mengambilnya. Tetapi bila saya
membutuhkannya, maka saya mengambilnya sesuai dengan kebutuhanku itu,
dan bila saya telah mampu, maka sayapun mengembalikannya.”
[46].
Dari dua pendapat ini –wallahu a’lam- pendapat yang pertama adalah
lebih tepat, yaitu boleh bagi seorang yang tidak mampu untuk mengambil
kadar yang mencukupinya dan sang anak yang berada dalam perwaliannya
tersebut. Hal ini didasarkan pada keumuman ayat yang telah disebutkan,
dan didasarkan pula pada ayat-Nya yang lain;
إِنَّ الذين يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ اليتامى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”, artinya –wallahu
a’lam- bahwa orang-orang yang menggunakan harta tersebut tidak secara
dzalim, yaitu dengan menggunakannya sesuai kebutuhan karena –pada
asalnya- ia adalah seorang miskin, maka mereka itu tidaklah masuk dalam
kategori orang yang disebutkan dalam ayat ini. Sebaliknya, jika orang
tersebut adalah orang yang mampu, lantas dia menggunakan harta anak yang
berada dalam perwaliaannya itu, maka demikianlah yang masuk dalam
kategori sebagaimana yang tersebut dalam ayat. Disebutkan dalam sebuah
riwayat bahwa seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata;
إِنِّى فَقِيرٌ لَيْسَ لِى شَىْءٌ وَلِى يَتِيمٌ
“Wahai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesungguhnya saya
ini adalah seorang fakir dan menanggung seorang anak yatim.”. Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ
“Makanlah dari harta anak yatim yang berada dalam perwalianmu secara tidak berlebih-lebihan.”
[47].
Dari ayat ini pula dinyatakan sebuah kaidah tentang kewajiban yang
hendaknya dipikul oleh seorang wali (wakil) dalam apapun aktifitas yang
diamanahkan kepadanya;
يجب عليه أن لا يتصرف إلا بما هو أحسن.
“Ia tidak diperkenankan melakukan apa saja yang berkenaan dengan
amanah yang dipikulnya kecuali dengan cara yang terbaik.”. Olehnya,
terhadap seorang bapak yang memiliki anak wanita, jika ada dua orang
laki-laki yang datang meminang anaknya itu, maka hendaklah ia memilih
baginya orang yang lebih baik agamanya dari keduanya, karena itulah yang
terbaik bagi sang anak, dan ia tidak boleh memilihkan bagi anaknya
tersebut melainkan yang terbaik. Demikianlah contoh-contoh yang semisal
dengan hal tersebut, wajib bagi seorang yang diserahi kepercayaan
sebagai wakil (wali) dalam sebuah urusan untuk melakukan tindakan yang
terbaik berkenaan dengan urusan yang berada dalam perwakilan
(perwaliannya).
Wasiat ketujuh
Menyempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Menyempurnakan takaran atau timbangan pada saat membeli atau menjual
adalah suatu hal yang diwajibkan dalam agama ini. Allah -ta’ala-
berfirman;
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا
عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ
يُخْسِرُونَ (3) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (4)
لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (5) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (6)
[المطففين/1-6]
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?.”
(Al-muthaffifiin; 1-6)
Berkata Abdullah bin ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhu- ;
مَا ظَهَرَ الْغُلُولُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا أُلْقِيَ فِي
قُلُوبِهِمْ الرُّعْبُ وَلَا فَشَا الزِّنَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا
كَثُرَ فِيهِمْ الْمَوْتُ وَلَا نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ
إِلَّا قُطِعَ عَنْهُمْ الرِّزْقُ
“Bilamana telah nampak pada suatu kaum kecurangan dalam mengambil
harta rampasan perang, niscaya Allah -ta’ala- akan mewariskan dalam
hati-hati mereka perasaan takut. Bilamana perzinahan telah merebak pada
sebuah kaum, niscaya Allah -ta’ala- akan mempertinggi tingkat kematian
pada kaum tersebut. Bilamana suatu kaum mengurangi takaran atau
timbangan, niscaya Allah -ta’ala- akan memutuskan rezki-Nya bagi kaum
tersebut.”
[48].
Menepati timbangan adalah sesuatu yang wajib, namun tatkala seseorang
biasa melakukan kesalahan -yang tidak disengaja- dalam masalah ini,
baik karena faktor kelalaian orang itu sendiri atau karena faktor
timbangan yang kurang memenuhi standar, maka Allah -ta’ala- dengan
segala rahmat-Nya berfirman;
لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]
“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”.
Maka jika ia keliru (tidak sengaja), tidaklah ia dihukum atas
kekeliruan tersebut; dan bila ia -dikemudian hari- menyadari kekeliruan
tersebut, wajiblah atasnya mengganti hak orang yang telah ia rugikan
-bila hal tersebut masih memungkinkan-.
Hal yang perlu diingat bahwa masalah ini memiliki banyak percabangan.
Diantara percabangan masalah ini adalah melaksanakan tugas bagi seorang
pegawai atau guru. Diantara mereka ada yang tanpa udzur syar’I
mengurangi kadar waktu kerjanya secara sengaja. Sesungguhnya hal ini pun
termasuk dalam kategori mengurangi kadar timbangan. Olehnya itu,
hendaknya setiap orang bertakwa kepada Allah dalam setiap keadaan. Dan
hanya kepada Allahlah tempat mengadu dan memohon pertolongan.
Wasiat kedelapan
Berkata adil kepada setiap orang
(Dalam Menetapkan Hukum diantara Mereka)
Berlaku adil -dalam segala keadaan- kepada setiap orang adalah suatu hal yang wajib. Allah -ta’ala- berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى
أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-maaidah; 8)
Berlaku adil dalam menetapkan hukum diantara manusia adalah sesuatu
yang wajib tanpa ada pengecualian, dispensasi dan udzur. Hal ini
disebabkan karena yang demikian itu mungkin dilakukan –tentu yang
dimaksud adalah perlakuan adil secara dzhahir dan dalam batas-batas
kemanusiaan seseorang-. Karena itu maka di dalam ayat ini Allah -ta’ala-
tidak mengikutinya dengan firman-Nya;
لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]
“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya”, sebagaimana hal ini disampaikan pada ayat sebelumnya,
yaitu ketika disebutkan perintah untuk berlaku adil dalam takaran dan
timbangan.
Wasiat kesembilan
Memenuhi janji kepada Allah -ta’ala-.
Memenuhi janji kepada Allah -ta’ala- diwujudkan
dengan melaksanakan segala perintah-Nya; yang wajib maupun yang sunnah,
serta meninggalkan segala larangan-Nya. Barangsiapa yang telah memenuhi
hak Allah -ta’ala- atasnya, niscaya Allah -ta’ala- akan memberikan
ganjaran yang setimpal akan usahanya itu, dan barangsiapa yang
menyia-nyiakannya, niscaya Allah -ta’ala- pun akan menyia-nyiakannya.
Allah -ta’ala- berfirman;
وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي
مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ
وَآَمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيل [المائدة/12]
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil
dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah
berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu
mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada
rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan
sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu
sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
(Al-maaidah; 12)
Wasiat kesepuluh
Mengikuti jalan Allah -ta’ala- yang lurus.
Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata;
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا
عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ
مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ
ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-pernah menggambar sebuah
garis lurus, kemudian Beliau berkata; ini adalah jalan Allah -ta’ala-.
Setelah itu, Beliau -kembali- menggambar beberapa garis melenceng,
disebelah kanan dan disebelah kiri garis lurus tersebut. Beliau berkata;
ini adalah jalan-jalan melenceng; tidak satupun dari jalan tersebut,
melainkan padanya ada syaithan yang senantiasa memanggil, selanjutnya
Beliau membaca ayat Allah -ta’ala-; ” Dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
[49].
Ayat ini -secara umum- merupakan perintah Allah -ta’ala- kepada
segenap hamba-Nya untuk senantiasa meniti jalan Allah -ta’ala- yang
lurus, tidak berpecah belah, dan menjauhi segala jalan yang menyimpang
dari kebenaran; baik jalannya orang-orang kafir maupun jalan yang
ditempuh oleh para pelaku maksiat dan pembuat bid’ah. Allah –ta’ala-
berfirman;
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [آل
عمران/103]
” Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. ” (Ali
Imraan; 103)
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم [آل
عمران/105]
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, ” (Ali Imraan; 105)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. ” (An-nisaa’; 115)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا
فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ
الصَّابِرِينَ [الأنفال/46]
“Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar. ” ( Al-anfaal; 46)
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا
لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ
يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ [الأنعام/159]
” Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah)
kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang
telah mereka perbuat. ” (Al-an’am; 159)
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
“Berpegang teguhlah kalian terhadap jama’ah kaum muslimin, dan
janganlah sekali-kali kalian berpecah belah; karena sesungguhnya
syaithan itu akan senantiasa bersama seorang yang bersendirian, dan ia
akan berada lebih jauh dari dua orang yang bersama-sama. Barangsiapa
yang ingin mendapatkan sebaik-baik tempat di dalam syurga, maka
hendaklah ia senantiasa bersama al-jama’ah”
[50].
Seluruh keterangan yang telah disebutkan –tentu- sangat jelas
menunjukkan kewajiban seorang beriman untuk senantiasa berjalan di atas
jalan yang lurus dan tidak mengikuti jalan-jalan lain yang menyimpang
dari kebenaran. Sebagaimana keterangan-keterangan tersebut –juga- berisi
perintah kepada setiap orang beriman untuk senantiasa menjaga
persaudaraan diantara mereka dan menghindari hal-hal yang dapat
mengakibatkan pertikaian dan perpecahan.
Maka diantara hal yang dapat menyimpangkan seorang dari jalan yang
benar, dan pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya perpecahan dan
pertikaian adalah perilaku bid’ah (mengada-adakan tata cara beribadah
yang tidak disyari’atkan dalam agama yang mulia ini). Sahl bin ‘Abdullah
–rahimahullah- berkata;
عليكم بالاقتداء بالأثر والسنة, فإني أخاف أنه سيأتي عن قليل
زمان إذا ذكر إنسان النبي صلى الله عليه وسلم والاقتداء به في جميع أحوال
ذموه ونفروا عنه وتبرءوا منه وأذلوه وأهانوه.
“Berpegang teguhlah kalian terhadap sunnah. Sesungguhnya saya
khawatir, akan datang sebuah zaman; bila seseorang menyebut Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kewajiban mengikutinya dalam segenap
aspek kehidupan; ia lantas mencela, menghina dan melarang orang-orang
mengikuti ajakan tersebut.”
[51].
Sufyan At-tsauri –rahimahullah- berkata;
البدعة أحب إلى إبليس من المعصية; المعصية يتاب منها, والبدعة لا يتاب منها
“Perbuatan bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis dari pada perbuatan
maksiat. Seorang (akan lebih mudah) bertaubat dari perbuatan maksiat
yang ia lakukan, sedangkan pelaku bid’ah tidak akan (sukar) bertaubat
dari perlakuannya itu.”
[52].
Raafi’e bin Khadiij –radhiyallahu ‘anhu- pernah mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda;
يكون في أمتي قوم يكفرون بالله وبالقرآن وهم لا يشعرون كما كفرت اليهود والنصارى
“Akan muncul dari ummat ini suatu kaum; mereka kafir terhadap Allah
-ta’ala- dan Al-qur’an sebagaimana orang-orang yahudi dan nashrani
kafir kepada keduanya, sedang mereka tidaklah menyadari akan hal
tersebut.”
[53].
Khatimah
Pada akhirnya, tiadalah kemenagan, kesuksesan dan kebahagiaan dapat
diraih kecuali dengan penghambaan diri kepada Allah. Melaksanakan
sepuluh wasiat Allah dalam surah ini, sungguh akan mengantar seorang
yang hina menjadi mulia di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang
bertakwa, dan tiadalah yang selamat melainkan hamba-hamba-Nya yang
bertakwa.
Semoga Allah menjadikan kami dan para pembaca yang budiman sebagai
orang-orang bertakwa, menjaga dan mewafatkan kita semua di dalam
ketakwaan. Sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha berkuasa dan Dialah Zat
yang maha pengasih lagi maha penyayang.
[1]. Tafsir Ibnu Abi Haatim, (5/431)
[2] .Jaami’e al Bayaan li Ahkaami al Quran, oleh imam al Qurthubi, (7/132).
[3] .Tafsir al Quran al Adzhiim, (3/359)
[4] HR. Muslim, no. 4468
[5] HR. Bukhari, no. 6764
[6] Penafsiran ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Adi bin Hatim -radhiyallahu ‘anhu-. (HR. Tirmidzi, no. 3020)
[7] HR. Bukhari, no. 7145
[8] HR. Abu Daud, no. 1481
[9] HR. Tirmidzi, no. 2706
[10] HR. Muslim, no. 5957
[11]
HR. Ahmad, no. 17090, lihat juga “Ghaayatu al Maraam fi Takhriiji
Ahaadiits al Halaal wa al Haraam”, oleh syaikh al Baani, no. 284
[12] HR. Ahmad, no. 9784
[13]
Lihat bahasan masalah ini pada “Kifaayatu al Mustaziid bi Syarhi Kitaab
at Tauhiid”, jilid II, bab “Maa ja’a fi al Kuhhaan Wa Nahwihim”, al
Maktabah al Elektroniah, li as Syaikh Shaleh bin Abdil Aziiz Aalu as
Syaikh, Vol. 1,
http://www.islamspirit.com.
[14] HR. Tirmidzi, no. 1821
[15] HR. Tirmidzi, no. 3292
[16]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Baani berkata, di dalam ‘Silsilah al
Ahaadiits ad Dhaiifah’, no. 1727, bahwa hadits ini adalah hadits yang
lemah.
[17] HR. Muslim, no. 130
[18] HR. Bukhari, no. 5514
[19] HR. Bukhari, no. 844
[20] Tafsir al Quran al ‘Adzhiim, (6/409)
[21] HR. Abu Daud, no. 478
[22] HR. Abu Daud, no. 480
[23] HR. Muslim, no. 3971
[24] HR. Abu Daud, no. 480
[25] HR. Ahmad, no. 1573
[26] HR. Abu Daud, no. 5144
[27] Lihat “Syarhu az Zaad”, oleh syakh as Syanqithi, (14/104-105)
[28] HR. Ibnu Majah, no. 2764
[29] HR. Bukhari, no. 3714
[30] HR. Abu Daud, no. 4464. Lihat juga “Majmu’ Fataawa ibni Taimiyyah”, (6/391)
[31] Lihat “Kutub wa Rasaail”, oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimiin, (16/107)
[32] HR. Al-bukhari, no. 4117
[33] HR Bukhari, no. 6370
[34] HR.Bukhari, no. 2930
[35] HR. Bukhari, no. 344
[36] HR. Bukhari, no. 5333
[37] Lihat “Taysiiru al Kariimi ar Rahmaan Fi Tafsiiri Kalaami al Mannaan”, hal. 229
[38] HR. Bukhari, no. 7285
[39] At Tauqiif ala Muhimmaati at Ta’aariif, oleh Muhammad Abbdul Rauf al Manaawi, hal. 748
[40] Mu’jam Lughati al Fuqahaa, hal. 513
[41] HR, Abu Daud, no. 2875
[42] HR. Abu Daud, no. 4405
[43] HR. Bukhari, no. 2664
[44] HR. Abu Daud, no. 4406
[45] Tafsir Ibnu Katsiir, (2/216)
[46] Al Muwaththa’, (3/432)
[47] HR. Abu Daud, no. 2874
[48] Al Muwaththa’, no. 1670
[49] HR. Ahmad, no. 4225
[50] . H.R At-tirmidzi, no. 2318
[51] Al Jaami’e Li Ahkaami al Quran, (7/139)
[52] Al Jaami’e Li Ahkaami al Quran, (7/141), dan Syu’ab al Imaan, no. 9135
[53] Al Jaami’e li Ahkaami al Quran, (7/141)